Senin, 22 Juli 2013

Surat An-Naba (ayat 1-16)


عَمَّ يَتَسَآءَلُونَ {1} عَنِ النَّبَأِ الْعَظِيمِ {2} الَّذِي هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ {3} كَلاَّ سَيَعْلَمُونَ {4} ثُمَّ كَلاَّ سَيَعْلَمُونَ {5} أَلَمْ نَجْعَلِ اْلأَرْضَ مِهَادًا {6} وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا {7} وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا {8} وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا {9} وَجَعَلْنَا الَّيْلَ لِبَاسًا {10} وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا {11} وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا {12} وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا {13} وَأَنزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَآءً ثَجَّاجًا {14} لِنُخْرِجَ بِهِ حَبًّا وَنَبَاتًا {15} وَجَنَّاتٍ أَلْفَافًا {16}
Artinya :
“Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?(1). Tentang berita yang besar(2). Yang mereka perselisihkan tentang ini(3). Sekali-kali tidak; kelak mereka akan mengetahui(4). Kemudian sekalikali tidak, kelak mereka akan mengetahui(5). Bukankah Kami telah menjadikan bumi ini sebagai hamparan?(6). Dan gunung-gunung sebagai pasak(7). Dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan(8). Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat(9). Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian(10). Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan(11). Dan Kami bangun di atas Kami tujuh buah (langit) yang kokoh(12). Dan Kami jadikan pelita yang amat terang(matahari)(13). Dan kami turunkan dari awan air yang bantak tecurah(14). Supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan(15). Dan kebun-kebun yang lebat(16).   

            Melalui ayat-ayat tersebut, Allah membantah keras pertanyaan orang-orang musyrik yang mengingkari terjadinya Hari Kiamat: عَمَّ يَتَسَآءَلُونَ عَنِ النَّبَأِ الْعَظِيمِ (Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? Tentang berita yang besar) Mengandung arti apakah mereka saling bertanya-tanya tentang perkara Hari Kebangkitan, padahal itu adalah suatu berita yang besar, yang menakutkan, mengejutkan, dan dahsyat.
            Qatadah dan Ibnu Zaid berkata: Berita yang besar itu adalah hari kebangkitan setelah kematian. Sementara Mujahid berkata: Berita besar itu adalah Al-Qur’an.
            Yang benar dari dua pendapat ini adalah pendapat pertama, yaitu beritan tentang Hari Kebangkitan setelah kematian, berdasarkan firman Allah setelah itu : الَّذِي هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ  (Yang mereka perselisihkan tentang ini) Manusia dalam merespon berita ini terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan yang percaya Hari Kebangkitan dan golongan yang mengingkari Hari Kebangkitan.
            Allah SWT lalu berfirman kepada golongan yang mengingkari Hari Kebangkitan: كَلاَّ سَيَعْلَمُونَ,ثُمَّ كَلاَّ سَيَعْلَمُونَ  (Sekali-kali tidak; kelak mereka akan mengetahui. Kemudian sekalikali tidak, kelak mereka akan mengetahui) Ini adalah ancaman yang keras serta janji yang amat dikuatkan.    
            Allah kemudian segera menerangkan kemampuan-Nya yang amat hebat dalam hal menciptakan segala sesuatu yang aneh dan ajaib yang menunjukkan kemampuan-Nya dalam melakukan segala sesuatu yang Dia kehendaki pada urusan-urusan Akhirat dan lain-lainnya: أَلَمْ نَجْعَلِ اْلأَرْضَ مِهَادًا  (Bukankah Kami telah menjadikan bumi ini sebagai hamparan) ini berarti bumi disediakan sebagai tempat tinggal tetap semua makhluk, وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا  (Dan gunung-gunung sebagai pasak) Gunung-gunung itu dijadikan dengan memiliki pasak-pasak yang berfungsi menancapkan (mengokohkan) bumi agar tidak bergerak, sehingga tidak menggoncangkan makhluk-makhluk Allah yang ada di atasnya.
            وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا (Dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan) Allah menciptakan laki-laki dan perempuan, sehingga satu sama lain dapat saling menikmati, yang pada waktunya akan menghasilkan keturunan (dengan kenikmatan itu), sebagaimana firman Allah:
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
dan di antara tanda-tanda kekuasaan –Nya ialah menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih saying.”(Qs. Ar-Ruum(30):21)
            وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا (Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat) Dalam artian, berhenti bergetak untuk mendapatkan istirahat, setelah banyak bekerja-mencari kehidupan-sepanjang siang. Ayat yang semakna dengan ayat ini adalah surah Al Furqaan ayat 47:
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الَّيْلَ لِبَاسًا وَالنَّوْمَ سُبَاتًا وَجَعَلَ النَّهَارَ نُشُورًا
Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha”
            وَجَعَلْنَا الَّيْلَ لِبَاسًا (Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian) Kegelapan malam serta hitamnya malam menutupi (menyelimuti) manusia, sebagaimana firman Allah:
Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)”. (Qs. Al-Lail (92):1)
            Menurut Qatadah, firman Allah: وَجَعَلْنَا الَّيْلَ لِبَاسًا (Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian) Maksudnya adalah ketenangan.
            وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا (Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan) Allah menjadikan siang mempunyai cahaya, agar manusia dapat berusaha, pergi bekerja, berniaga, serta lain-lainnya.
            وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا (Dan Kami bangun di atas Kami tujuh buah (langit) yang kokoh) Tujuh buah langit itu adalah langit yang luas dan tinggi, yang diciptakan secara bijaksana serta amat teliti, kemudian dihiasi dengan bintang-bintang yang berdiam dan yang bergerak. Oleh karena itu Allah SWT berfirman: وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا (Dan Kami jadikan pelita yang amat terang[matahari]) Matahari yang menyinari seluruh alam, yang sinarnya dapat menerangi seluruh penduduk bumi.
            وَأَنزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَآءً ثَجَّاجًا (Dan kami turunkan dari awan air yang bantak tecurah) Al Aufa berkata dari Ibnu Abbas: Al Mu’shirat artinya Ar-riyah (angin).
            Ibnu Abi Hatim berkata: Abu Sa’id berkata kepada kami, Daud Al Hufri berkata kepada kami dari Sufyan, dari Al A’masy, dari Al Minhal, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, ia berkata :   وَأَنزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ (Dan kami turunkan dari Al Mu’shirat) maksudnya di turunkan dari angin.
            Ikrimah, Mujahid, Qatadah, Muqatil, Al Kalby, Zaid bin Aslam dan putranya Abburrahman, mengatakan bahwaAl Mu’shirat adalah Ar-riyah (angin), maksud firman Allah ini adalah, angin tersebut membawa hujan dari awan.
            Ali bin Abu Thalhah dari Ibnu Abbas, dari Al Mu’shirat, mengatakan bahwa maksudnya adalah di turunkan dari As-sahab (awan). Begitu pula yang dikatakan oleh Ikrimah, Abu Al’Aliah, Adh-Dhahhak, Al Hasan, Ar-Rabi’bin Anas, Ats-Tsauri, dan Ibnu Jarir.
            Al Farra’ berkata: Al Mu’shirat adalah awan yang mengandung air hujan yang belum di turunkan ke bumi, sebagaimana diucapkan oleh wanita Mu’shif (wanita yang telah dekat masa haidnya, tetapi ia belum haid).
            Dari Al Hasan dan Qatadah, menyebutkan bahwa min al Mu’shirat adalah min assamawat (dari langit). Tapi ini pendapat yang aneh.
            Pendapat yang benar adalah yang mengatakan bahwa Al Mu’shirat maksudnya adalah awan, sebagaimana firman Allah:
اللهُ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَيَبْسُطُهُ فِي السَّمَآءِ كَيْفَ يَشَآءُ وَيَجْعَلُهُ كِسَفًا فَتَرَى الْوَدَقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلاَلِهِ فَإِذَآ أَصَابَ بِهِ مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya” (Qs. Ar-Ruum (30): 48) yaitu diantara celah-celah awan.
            Tentang firman Allah مَآءً ثَجَّاجًا Mujahid, Qatadah, dan Rabi’bin Anas berpendapat: Tsajjaja artinya Munshabba (tercurah). Ats-Tsauri berkata: Artinya Mutatabi’an (terus-menerus)”.
            Ibnu Zaid berkata: Artinya Katsiran (Banyak)
            Ibnu Jarir berkata: Dalam pembicaraan bangsa Arab, tidak ada istilah banyak turun hujan, karena istilah yang dipakai adalah air hujan yang tercurah terus-menerus. Beginilah yang dikatakan Ibnu Jarir. Saya katakana ini sama dengan sabda Rasulullah SAW,: “Sebaik-baiknya haji adalah dengan mengangkat suara tinggi-tinggi dan berpeluh keringat”. (HR. At-Tirmidzi [3/189, bab: Haji, no. 827], Ibnu Majah [2/945, bab: Manasik Haji, no. 2924], dan Ad-Darami [2/49, bab: manasik Haji, no. 1797] Hadist ini dinilai Hasan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’, no.1101, bab: Al’Ajju [mengangkat suara saat membaca Talbiyah]. Ats-tsajju [mengeluarkan keringat peluh dari badan]). Juga sama dengan sabda beliau kepada kaum wanita Mustahadhah,
            “Hendaknya engkau membersihkannya dengan kapas” wanita itu lalu berkata, “Wahai Rasulullah, darah ini akan lebih banyak lagi.” Bahkan atsajj tsajja, maksudnya adalah terus-menerus mengalir. Semua keterangan ini menunjukkan makna haji atsajju, yang diartikan dengan curahan air yang banyak dan terus-menerus, wallahu a’lam.
            لِنُخْرِجَ بِهِ حَبًّا وَنَبَاتًا وَجَنَّاتٍ أَلْفَافًا (Supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan Dan kebun-kebun yang lebat) dengan air yang banyak, baik, bermanfaat, dan penuh berkah ini, maka Kami (baca: Allah) akan mengeluarkan habban (biji-bijian yang disimpan untuk manusia dan binatang), dan nabatan (sayur mayor yang dimakan dalam keadaan segar). Dari air itu juga kami akan mengeluarkan janatin (kebun-kebun dan taman-taman beserta buah-buahnya, dengan berbagai macam bentuk, rupa, warna, aroma, dan rasa yang beraneka ragam). Semua buah-buahan itu tumbuh di satu tempat, yaitu di bumi, secara berkelompok. Oleh karena itu Allah berfirman وَجَنَّاتٍ أَلْفَافًا  
            Ibnu Abbas dan lain-lainnya mengatakan bahwa alfafan artinya mujtamatan (berkelompok). Senada dengan hal tersebut Allah berfirman,
وَفِي اْلأَرْضِ قِطَعٌ مُّتَجَاوِرَاتٌ وَجَنَّاتٌ مِّنْ أَعْنَابٍ وَزَرْعٌ وَنَخِيلٌ صِنْوَانٌ وَغَيْرُ صِنْوَانٍ يُسْقَى بِمَآءٍ وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ فِي اْلأُكُلِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar-Ra’d(13):4)

Minggu, 21 Juli 2013

Tata Cara Sholat

Start Next Prev End

Sabtu, 20 Juli 2013

Tata Cara Wudhu

Start Next Prev End

Album


Jumat, 19 Juli 2013

Para Tabi'in

DOWNLOAD

Raja' bin Haiwah

              Tiga ulama di masa tabi'in yang tidak ada bandingannya` dan tidak ada yang menyamainya. Seakan mereka bertemu dan bersepakat untuk saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran. Berjanji setia untuk selalu berada di atas kebaikan dan kebajikan, meniti hidupnya di atas taqwa dan ilmu, bertekad bula untuk berkhidmat kepada Allah dan Rasul-Nya dan juga kaum muslimin. Mereka itu adalah Muhammad bin Sirin dari Irak, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr dari Hijaz dan Raja' bin Haiwah dari Syam. Marilah kita telusuri perjalanan saat-saat penuh berkah dalam sejarah orang yang ketiga ini, yakni Raja' bin Haiwah.
Raja' bin Haiwah lahir di Bisaan Palestina, kira-kira di akhir masa kekhalifahan Utsman bin Affan radhiyallahu 'anhu Asal usulnya dari kabilah Kindah Arab. Sehingga Raja' adalah orang palestina dan keturunan Arab dan keluarga bani Kindah. Beliau tumbuh dalam ketaatan kepada Allah sejak kecil, dicintai Allah dan menyenangkan hati hamba-hamba-Nya.
Beliau gemar mencari ilmu sejak awal pertumbuhannya, dan ilmu pun serasa cocok bersemayam di hatinya yang subur dan mengisi celah-celahnya yang masih kosong. Semangatnya yang paling besar adalah ketika mempelajari dan mendalami Kitabullah, serta membekali diri dengan  hadits-hadits Nabi. Pikirannya diterangi oleh cahay Al-Qur'an, pandangannya disinari oleh hidayah nubuwah, dan dadanya penuh dengan nasehat dan hikmah. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sunggu berarti telah diberi karunia yang banyak.
Beruntung beliau mendapat kesempatan untuk menimba ilmu dari para sahabat seperti Abu Sa'id Al-Khudri, Abu Darda, Abu Umamah,  Ubadah bin Shamit, Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Abdullah bin Amru bin Ash, Nawwas bin Sam'an, dan lain-lain. Mereka semua menjadi lentera hidayah dan cahaya pengetahuan bagi beliau.
Pemuda ini menetapkan kedisiplinan atas dirinya sendiri. Motto yang dipelihara dan diulang-ulang sepanjang hayatnya adalah:
Betapa indahnya Islam bila berhiaskan iman
Betapa indahnya iman bila berhiaskan takwa
Betapa indahnya taqsa bila berhiaskan ilmu
Betapa indahnya ilmu bila berhiaskan amal
Betapa indahnya amal bila berhiaskan kasih sayang

Raja' bin Haiwah menjadi menteri dalam beberapa periode khalifah bani Umayah. Dimulai sejak khalifah Abdul Malik bin Marwan hingga masa Umar bin Abdul Aziz. Hanya saja, hubungannya dengan Sulaiman bin Abdul Malik dan Umar bin Abdul Aziz lebih istimewa daripada khalifah-khalifah yang lain.
Beliau mendapat tempat di hati khalifah-khalifah bani Umayah ini karena kecerdasan akalnya, kebagusan bahasanya, ketulusan niatnya, serta kebijakan dalam menyelesaikan suatu masalah. Di samping itu juga kerena kezuhudannya terhadap kemewahan dunia yang ada di tangan para penguasa itu, yang biasanya diperebutkan oleh orang-orang yang tamak.
Kedekatan hubungannya dengan khalifah-khalifah Bani Umayah merupakan perwujudan rahmah dan karunia Allah bagi mereka karena beliau senantiasa mendorong mereka kepada kebaikan dan menunjukkan jalannya, menjauhkan dari kejahatan dan menutup  pintunya, menunjukkan indahnya kebenaran hingga mereka mau mengikuti dan menggambarkan betapa buruknya kebathilan hingga mereka menjauhi. Beliau menunaikan nasihat bagi Allah, Rasul-Nya, dan para pemimpin kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin.
Telah terjadi peristiwa yang dialami Raja' bin Haiwah sehingga mampu menerangi jalan agar beliau menempuh jalan yang benar dalam bergaul dengan khalifah dan bagaiman dia mengatasi diri dalam tugasnya. Beliau menceritakan perihal dirinya sebagai berikut:
"Ketika itu, aku berdiri bersama khalifah Sulaiman bin Abdul Malik di tengah ramainya manusia. Tiba-tiba aku lihat seoseorang keluar dari kerumunan massa dan berjalan mendekati kami. Wajahnya tampan dan penuh wibawa, menerobos kerumunan orang sehingga aku merasa pasti dia hendak menghampiri khalifah. Tetapi ternyata dia berdiri di sampingku, memberi salam lalu berkata:
"Wahai Raja', engkau telah diuji melalui orang ini [sambil menunjuk khalifah]. Kedekatanmu dengannya bisa mendatangkan banyak kebaikan, namun bisa pula meimbulkan keburukan yang banyak. Maka jadikanlah kedekatanmu dengannya sebagai sarana untuk mendapatkan kebaikan bagi dirimu dan orang lain. Ketahuilah wahai Raja', bila seseorang memiliki kedudukan di sisi penguasa kemudian dia mengurus kebutuhan orang-orang yang lemah yang tak kuasa mengajukannya kepada penguasa, maka dia akan menjumpai Allah di hari kiamat nanti dengan kedua kaki yang mantap untuk dihisab.
Ketahuilah wahai Raja', barangsiapa yang mencukupi kebutuhan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mencukupi kebutuhannya. Ketahui pulalah wahai Raja', bahwa amal yang paling dicintai Allah adalah menyenangkan hati seorang muslim."
Raja' berkata, "Ketika aku sedang asyik memperhatika dengan seksama kata-kata orang itu dan menunggu kelanjutannya, namun tiba-tiba khalifah memanggil, 'Wahai Raja' bin Haiwah!' Aku bergegas menuju ke tempat khalifah seraya menjawab, 'Aku di sisimu wahai Amirul mukminin'."
Khalifah menanyakan sesuatu dan aku menjawab. Setelah itu aku segera menengok ke arah orang yang menasehatiku tadi, namun ia sudah tak ada lagi berada di tempatnya. Aku mencarinya di antara kerumunan orang ramai, namun aku tak mendapatkannya.
Raja' bin Haiwah banyak membimbing ke arah sikap jujur khalifah-khalifah Bani Umayah hingga tertulis dalam lembaran sejarah yang paling indah, diriwayatkan dari generasi ke generasi sebagai tokoh salaf.
Sebagai contohnya, peristiwa di mana suatu hari ada orang yang mengadu kepada Khalifah Abdul Malik bin Marwan tentang adanya seseorang yang membenci Bani Umayah dan berpihak kepada Abdullah bin Zubeir. Si pelapor menceritakan tentang perkataan dan perbuatan orang yang dimaksud, hingga memancing kemarahan khalifah dan mengancam, "Demi Allah, jika Allah memberiku kesempatan untuk menangkapnya, sunggu aku akan melakukannya, aku akan melakukannya, akan aku kalungkan pedang di lehernya!"
Tak berselang lama setelah itu Allah mentakdirkan khalifah dapat menangkap orang yang diadukan tersebut. Dia digiring menghadap khalifah dengan cara yang kasar. Ketika melihat orang itu, khalifah naik pitam dan  hampir melaksanakan ancamannya, namun Raja' bin Haiwah berkata, "Wahai amirul mukminin, Allah telah memberi kesempatan Anda untuk melaksanakan keinginan Anda dengan kekuatan yang Anda miliki, namun sekarang lakukanlah untuk Allah apa yang disukai-Nya, yaitu ampunan."
Seketika itu juga amarah amirul mukminin menjadi reda dan menjadi tenanglah hatinya. Kemudian dia memaafkan orang tersebut, melepaskannya dan memperlakukannya secara baik.
Pada tahun 91 H Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik menunaikan haji didampingi oleh Raja' bin Haiwah. Sesampainya di Madinah, khalifah mengunjungi masjid Nabawi Asy-Syarif disertai Umar bin Abdul Aziz. Beliau ingin melihat-lihat masjid Nabawi itu karena telah memiliki tekad untuk memperluasnya menjadi 200 hasta. Orang-orang di dalamnya diminta keluar dari masjid agar amirul mukminin dapat memperkirakannya.
Tidak tersisa lagi orang di dalamnya kecuali Sa'id bin Musayyab, karena petugas tidak berani menyuruhnya keluar. Melihat hal itu, Umar bin Abdul Aziz sebagai wali kota menutus seseorang untuk mengatakan kepada Sa'id agar keluar seperti yang lain. Tetapi Sa'id menjawab, "Saya tidak akan keluar dari masjid kecuali pada waktu-waktu biasa saya tinggalkan setiap hari." Lalu dikatakan, "Kalau begitu hendaknya Anda berdiri sekedar memberi hormat dan salam kepada amirul mukminin." Beliau menjawab,"Saya datang kemari untuk berdiri bagi Rabb-ul 'Alamin."
Demi melihat polemik yang terjadi antara utusannya dengan Imam Sa'id bin Musayyab, Umar bin Abdul Aziz segera mengarahkan amirul mukminin menjauh dari tempat Sa'id duduk. Sementara Raja' mengalihkan perhatiannya dengan mengajak berbincang-bincang, sebab Umar dan Raja' tahu akan kekerasan sikap khalifah. Mendadak Al-Walid bertanya, "Siapakah orang tua tersebut? Bukankah dia Sa'id bin Musayyab?"
Keduanya berkata, "Benar wahai amirul mukminin," lalu keduanya segera menyebut-nyebut tentang kebaikan agama dan ilmunya  serta keutamaan dan ketakwaannya. Keduanya berkata, "Seandainya beliau mengetahui posisi Anda, tentulah akan datang dan memberi salam, hanya saja beliau sudah lemah penglihatannya." Al-Walid berkata, "Aku baru mengetahui bahwa keadaannya seperti yang kalian sebutkan. Dia lebih berhak untuk kita datangi dan kita dahului mengucapkan salam."
Khalifah Al-Walid mengelilingi masjid hingga sampai di tempat duduk Sa'id bin Musayyab, beliau berhenti memberi salam dan berkata, "Bagaimana keadaan Anda, wahai Syaikh?" Sa'id menjawab tanpa beranjak dari tempatnya, "Dalam limpahan nikmat-Nya, segala puji bagi Allah, bagaimana keadaan amirul mukminin? Semoga mendapat taufik untuk mengerjakan apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah."
Sambil berlalu Al-Walid berkata, "Beliau adalah sisa-sisa orang terdahulu, sisa pendahulu ummat ini."
Ketika tampuk kekhalifahan jatuh ke tangan Sulaiman bin Abdul Malik, Raja' bin Haiwah mendapat kepercayaan penuh di sisinya melebihi yang lain. Sulaiman sangat mempercayainya, menggunakan pemikiran dan pandangan-pandangannya dalam segala urusan yang besar maupun kecil.
Begitu banyak peristiwa mengesankan yang beliau alami bersama Sulaiman bin Abdul Malik. Namun ada satu peristiwa monumen bagi sejarah Islam dan kaum muslimin, karena masalahnya yang sangat urgen. Yakni soal pergantian khalifah, di mana Raja' cenderung untuk memilih Umar bin Abdul Aziz.
Raja' bin Haiwah menceritakan kisah bersejarah tersebut.
Di awal hari Jum'at di bulan Shafar 99 H, aku mendampingi amirul mukminin Sulaiman di Dabik. Saat itu amirul mukminin telah mengirimkan suatu pasukan yang kuat untuk menggempur Turki di bawah komandan saudaranya, Maslamah bin Abdul Malik, dan didampingi putra beliau Dawud, beserta sebagian besar dari keluarganya. Beliau telah bertekad untuk tidak meninggalkan Dabik sebelum menguasai Konstantinopel atau mati.
Ketika waktu telah mendekati shalat Jum'at, amirul mukminin berwudhu dengan sebagus-bagus wudhu, memakai jubah berwarna hijau dan surbannya berwarna hijau pula. Beliau merasa bangga melihat keadaannya di cermin yang terlihat masih muda, di mana saat itu usia khalifah baru sekitar 40 tahun. Kemudian beliau keluar untuk menunaikan shalat Jum'at bersama orang-orang. Sepulangnya dari shalat Jum'at, tiba-tiba beliau merasa demam. Rasa sakit tersebut kian hari bertambah parah. Sehingga beliau meminta agar aku (Raja') senantiasa dekat di samping beliau.
Suatu kali, ketika aku masuk ke ruangan khalifah, aku dapati amiurl mukminin sedang menulis sesuatu. Aku bertanya, "Apa yang sedang Anda lakukan wahai amirul mukminin?" Beliau menjawab, "Aku menuliskan wasiat untuk penggantiku yakni putraku Ayyub."
Aku berkata, "Wahai amirul mukminin,  ketahuilah bahwa yang akan menyelamatkan Anda dari siksa kubur dan membebaskan Anda dari tanggung jawab kelak di hadapan Allah adalah dengan menunjuk seorang pengganti yang shalih untuk ummat ini. Sedangkan putra Anda masih terlampau kecil, belum dewasa, belum dapat dijamin kebaikan dan keburukannya." Beliau berkata, "Ini hanya tulisan main-main saja. Untuk itu, aku hendak shalat istikharah dahulu." Kemudian beliau merobek tulisan tersebut.
Setelah satu atau dua hari kemudian aku dipanggil dan ditanya, "Bagaimana pendapatmu tentang putraku, Dawud wahai Abu Miqdam?" Aku berkata, "Dia tidak ada di sini. Dia sedang berada di medan perang di Konstantinopel bersama kaum muslimin dan Anda sendiri tidak mengetahui apakah dia masih hidup atau sudah gugur.." Beliau berkata, "Menurutmu, siapakah gerangan yang pantas menggantikan aku wahai Raja'?"
Aku berkata, "Keputusannya terserah Anda wahai amirul mukminin." Aku ingin melihat siapa saja yang beliau sebut, sehingga aku bisa mengomentarinya satu persatu, lalu sampailah nama Umar bin Abdul Aziz yang sebenarnya aku maksud." Beliau berkata, "Bagaimana pendapatmu tentang Umar bin Abdul Aziz?"
Aku berkata, "Demi Allah, aku tidak mengetahui tentang beliau melainkan bahwa dia adalah orang yang utama, sempurna, berakal, bagus agamanya dan berwibawa." Beliau berkata, "Engkau benar, demi Allah, dialah yang layak untuk jabatan ini. Hanya saja jika dia yang aku angkat sementara aku tinggalkan anak-anak Abdul Malik, tentu akan terjadi Fitnah." Aku berkata, "Kalau begitu, pilihlah salah satu dari mereka dan tetapkan bagi mereka sebagai pengganti setelah Umar."
Beliau berkata, "Anda benar, hal itu bisa membuat mereka tenang dan ridha." Kemudian beliau mengambil kertas dan beliau tulis:
"Bismillahirrahmanirrahim. Ini adalah surat dari hamba Allah, amirul mukminin Sulaiman bin Abdul Malik untuk Umar bin Abdul Aziz. Aku mengangkatmu sebagai khalifah penggantiku, dan setelah kamu adalah Yazid bin Abdul Malik, maka bertakwalah kepada Allah dan taatilah dia, janganlah kalian bercerai berai karena akan mengakibatkan senangnya orang-orang yang menginginkan hal itu terjadi atas kalian."
Kemudian beliau menutup surat itu dan menyerahkannya kepadaku, selanjutnya dikirim kepada Ka'ab bin Hamiz selaku kepala keamanan. Lalu khalifah berkata, "Perintahkanlah seluruh keluargaku untuk berkumpul dan sampaikanlah bahwa surat wasiat yang berada di tangan Raja' bin Haiwah adalah benar-benar pernyataanku. Lalu perintahkan mereka untuk membaiat kepada orang yang disebutkan namanya dalam wasiat itu."
Setelah semuanya berkumpul, aku berkata, "Ini adalah surat wasiat amirul mukminin yang berisis perintah pengangkatan khalifah penggantinya dan beliau telah memerintahkan aku untuk mengambil bai'at kalian bagi orang yang tercantum sebagai calon penggantinya." Mereka berkata, "Kami mendengar, dan akan taat kepada amirul mukminin penggantinya." Setelah itu mereka minta izin menemui amirul mukminin untuk mengucapkan salam. Aku berkata, "Silakan."
Setelah mereka masuk, Sulaiman berkata, "Sesungguhnya surat yang berada di tangan Raja' berisi pesan bagi khalifah penggantiku maka taatilah dia dan bai'atlah kepada orang yang kusebutkan namanya di dalamnya." Satu demi satu orang-orang membai'at. Kemudian aku keluar dengan membawa surat yagn tertutup rapi dan tak ada seorang pun yang tahu selain aku dan amirul mukminin.
Setelah orang-orang membubarkan diri, Umar bin Abdul Aziz mendekatikku dan berkata, "Wahai Abu Miqdam, selama ini amirul mukminin begitu baik kepadaku dan telah memberiku kekuasaan karena kebijaksanaan dan ketulusannya dalam masalah ini. Oleh sebab itu, aku bertanya karena Allah, atas nama persahabatan dan kesetiaan kawan kita, beritahukanlah kepadaku nama tersebut, seandainya dalam wasiat amirul mukminin tersebut ada sesuatu yang ditujukan khusus kepadaku, agar aku bisa menolaknya sebelum terlambat.
Aku berkata, "Tidak, demi Allah aku tidak akan memberitahukan walau satu hurufpun dari isi surat itu tentang apa yang kau inginkan." Umar bin Abdul Aziz pun pergi dengan kecewa.
Setelah itu giliran Hisyam bin Abdul Malik mendekatiku dan berkata, "Wahai Abu Miqdam, diantara kita telah terjalin persahabatan yang begitu lama. Aku mengucapkan banyak terimakasih untuk itu dan tak akan pernah  melupakan jasa-jasamu. Maka tolong beritahukan isi surat amirul mukminin itu. Jika jabatan itu diserahkan kepadaku, akan akan tutup mulut, tetapi jika diberikan kepada yang lainnya, akau akan bicara. Orang seperti saya tidak selayaknya dikesampingkan dalam urusan ini. Aku bersumpah tidak akan membocorkan rahasia ini."
Aku berkata, "Tidak, demi Allah aku tidak akan memberitahukan kepadamu satu hurufpun dari isi surat yang dipercayakan amirul mukminin kepadaku." Dia pergi dengan mengepalkan tangannya seraya menggerutu, "Kepada siapa lagi dia menyerahkan jabatan jika aku disingkirkan? Mungkinkah khilafah ini akan lepas dari tangan anak-anak Abdul Malik? Demi Allah, akulah yang paling utama di antara anak-anak Abdul Malik!"
Kemudian aku masuk untuk menjumpai amirul mukminin Sulaiman bin Abdul Malik. Aku perhatikan beliau semakin parah dan mendekati sakaratul maut. Melihat kegelisahannya, aku menghadapkan beliau ke arah kiblat sementara beliau berkata dengan berat, "Belum tiba saatnya wahai Raja'.." Aku mengulanginya lagi, dan ketika kupalingkan ke kiblat untuk ketiga kalianya beliau berkata, "Sekarang jika engkau hendak melakukan sesuatu, lakukanlah wahai Raja'..Asyhadu an laa ilaaha illaallah wa asyhhadu anna Muhammadan Rasulullah." Kupalingkan beliau ke arah kiblat dan tak lama kemudian beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Aku pajanmkan kedua matanya, aku tutup tubuhnya dengan kain, lalu kututup pintu ruangan itu rapat-rapat. Pada saat utusan istri khalifah ingin menengoknya aku menghalangi pintu masuk sambil berkata, "Lihatlah dia baru saja tidur setelah gelisah semalam suntuk. Karena itu biarkanlah dulu dia dengan ketenangannya."
Syukurlah, ketika utusan istri Sulaiman bin Abdul Malik menyampaikan alasanku diterima dengan baik oleh istri khalifah. Dia yakin kalau suaminya memang tidur. Aku mengunci pintu dan menempatkan seorang penjaga yang kupercaya sambil berpesan kepadanya, "Jangan ijinkan seorangpun masuk hingga aku kembali nanti."
Kemudian aku pergi untuk menemui manusia. Ketika itu mereka bertanya, "Bagaimana keadaan amirul mukminin?" Aku menjawab, "Belum pernah beliau setenang ini semenjak sakitnya." Alhamdulillah, kata mereka.
Setelah itu aku meminta agar Ka'ab bin Hamiz mengumpulkan semua keluarga khalifah di masjid Dabik. Setelah semuanya hadir aku berkata, "Berbai'atla kalian kepada orang yang tercantum namanya dalam surat ini." Mereka berkata, "Kami sudah berbai'at kemarin, mengapa harus berbai'at lagi?" Aku berkata, "Ini adalah perintah amirul mukminin. Kalian harus mentaati perintahnya untuk membai'at orang yang tersebut namanya dalam surat ini."
Satu persatu mereka pun berbai'at. Setelah kulihat segalanya berjalan lancar, baru aku katakan, "Sesungguhnya amirul mukminin telah wafat, inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.."
Aku membaca surat wasiat amirul mukminin dan membacanya, ketika kusebutkan nama Umar bin Abdul Aziz, spontan Hisyam bin Abdul Malik berteriak, "Aku tidak akan membai'at dia selamanya!" Aku berkata, "Kalau begitu -demi Allah- akau akan memenggal lehermu, bersegeralah engkau bai'at dia." Akhirnya sambil menyeret kedua kakinya dia berjalan menuju Umar bin Abdul Aziz, lalu berkata, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un" (yakni disesalkan mengapa khilafah jatuh di tangan Umar dan bukan ke tangan salah satu putra Abdul Malik). Umar pun menjawab, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un" (yakni beliau menyesali mengapa beliau haru mengemban tugas khalifah).
Itulah bai'at yang dengannya Allah memperbaharui keislaman dan meninggikan panji-panjinya.
Sungguh beruntung khilafah Sulaiman bin Abdul Malik dan selamatlah jalannya. Dengan pengangkatannya atas Umar bin Abdul Aziz berarti beliau telah menyelamatkan diri dari tanggung jawab di hadapan Allah. Selamatlah menteri yang tulus Raja' bin Haiwah yang telah merealisasikan nasihat bagi Allah, Rasul-Nya dan imam-imam kaum muslimin. Semoga Allah membalas teman akrab yang shalih dengan balasan yang baik dan menggantinya dengan pahala. Dengan kecerdasannya mampu menunjukkan jalan terbaik bagi para penguasa.

Muhammad bin Sirin

Sirin berhasrat menyempurnakan separuh dari agamanya dengan menikah setelah Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu membebaskannya dari belenggu perbbudakan dan setelah pekerjaannya mendatangkan banyak keuntungan, karena dia memang seorang ahli membuat periuk.
Jatuhlah pilihannya pada budak wanita Abu Bakar Ash-Shiddiq yang bernama Shafiyah untuk dijadikan pendamping hidupnya. Shafiyah adalah seorang gadis muda yang cerah wajahnya, baik hatinya. Pandai dan sangat disayangi penduduk Madinah yang mengenalnya. Gadis-gadis remaja dan orang-orang tua yang melihatnya memiliki pandangan yang sama bahwa dia adalah seorang wanita yagn berpikiran cemerlang dan berbudi luhur. Yang paling menyayangi beliau adalah istri-istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, terutama ummul mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha.
Pada hari yang telah direncanakan, Sirin menghadap khalifah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar Ash-Shidiq untuk meminang Shafiyah. Abu Bakar segera menyelidiki hal ihwal si peminang seperti layaknya seorang ayah manakala putrinya hendak dipinang  orang.
Tidak aneh, karena kedudukan Shafiyah bagi Abu Bakar laksana putri bagi ayahnya, disamping ia adalah amanat yang dititipkan Allah kepadanya. Oleh karena itu beliau meneliti keadaan Sirin dengan cermat dan mempelejari kehidupannya dengan hati-hati. Di antara yang dimintai keterangan tentangnya adalah Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu Ketika ditanya, Anas menjawab, "Nikahkan lah ia dengan budakmu wahai amirul mukminin, dan janganlah engkau mengkhawatirkan keadaannya, saya tidak mengenalnya melainkan bahwa dia adalah seorang yang bagus agamanya, bagus akhlaknya dan menjaga kehormatannya. Aku telah menjalin hubungan dengannya semenjak menjadi tawanan Khalid bin Walid bersama empat puluh budak lain yang masih kecil-kecil. Setelah dibawa ke Madinah, Sirin menjadi bagianku dan aku sangat beruntung mendapatkan dia."
Akhirnya Abu Bakar Ash-Shidiq merestui pernikahan antara Shafiyah dengan Sirin. Maka diselenggarakanlah walimah pernikahan seperti halnya walimah untuk putrinya sendiri. Suatu hal yang sangat jarang dinikmati oleh budak atau pembantu wanita lainnya di Madinah.
Pernikahan itu disaksikan oleh banyak sahabat utama, di antaranya terdapat 18 sahabat yang ikut perang Badar. Ubai bin Ka'ab penulis wahyu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diminta untuk mendo'akannya sementara hadirin mengamininya.
Pengantin wanita dirias oleh tiga dari ummahatul mukminin untuk suaminya. Di antara buah dari pernikahan itu lahir seorang bayi yang dua puluh tahun kemudian menjadi satu di antara ulama yang tersohor. Dialah Muhammad bin Sirin. Marilah kita ikuti lembaran hidup tabi'in utama ini dari awal.
Muhammad bin Sirin lahir dua tahun sebelum berakhirnya khilafah Utsman bin Affan radhiyallahu 'anhu dan tumbuh besar di suatu rumah yang dipenuhi semerbak wewangian takwa dan wara' di setiap sudutnya.
Memasuki usia remaja, anak itu mendapati masjid Rasulullah penuh dengan para sahabat dan tokoh tabi'in seperti Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, Imron bin Hushain, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair dan Abu Hurairah.
Betapa antusias beliau menyambut mereka seperti layaknya orang kehausan yang menemukan air yang jernih. Diserapnya dari mereka ilmu-ilmu dari Kitabullah, didalaminya masalah fiqih dan riwayat-riwayat hadits Rasulullah s shallallahu 'alaihi wa sallam. Otaknya makin subur dan penuh dengan hikmah dan ilmu, jiwanya makin kaya akan kebaikan dan hidayah.
Kemudian berpindahlah keluarga beserta remaja yang brilian ini ke Bashrah dan menjadikannya sebagai tempat untuk menetap.
Ketika itu, Bashrah termasuk kota Baru yang dibangun kaum muslimin pada akhir masa khalifah Al-Faruq Umar bin Khathab radhiyallahu 'anhu Kota tersebut merupakan kota yang istimewa bagi umat Islam pada masa itu, yaitu sebagai basis bagi pasukan muslimin untuk berperang di jalan Allah, sebagai pusat pengajaran dan pembinaan bagi penduduk Irak dan Persia yang baru memeluk Islam dan merupakan cermin masyarakat Islam yang giat berusaha untuk dunia seakan hidup selamanya dan beramal untuk akhirat seakan hendak mati keesokan harinya.
Muhammad bin Sirin menjalani lembaran hidup yang baru di Bashrah dengan proporsional. Sebagian dari harinya digunakan untuk mencari ilmu dan ibadah, sebagian lagi untuk mata pencaharian dan berdagang.
Telah menjadi kebiasaan beliau, ketika matahari terbit, beliau berangkat ke masjid Bashrah untuk mengajar sambil belajar. Bila matahari mulai tinggi, beliau keluar menuju pasar untuk berdagang. Bila malam menjelang, beliau tekun di mihrab rumahnya, menghayati Al-Qur'an dengan sepenuh jiwa sampai menangis karena takutnya kepada Allah. Sampai-sampai keluarga dan sahabat-sahabat karibnya merasa iba mendengar tangisannya yang menyayat hati.
Setiap kali beliau ke pasar di siang hari, tak bosan-bosannya beliau mengingatkan manusia akan kehidupan akhirat dan menjelaskan akan hakikat dunia. Beliau memberikan bimbingan kepada mereka tentang cara mendekatkan diri kepada Allah. Beliaulah yang selalu menjadi penengah bila terjadi sengketa atau keributan di antara mereka. Terkadang beliau menghibur dengan cerita-cerita yang menghibur hati yang gundah dan lelah tanpa menjatuhkan wibawanya di hadapan para sahabatnya.
Allah telah menganugerahkan kemuliaan kepada beliau, sehingga mudah mengambil  hati orang dan diterima oleh semua kalangan. Bahkan bila seseorang sedang lupa diri segera sadar  begitu melihat Ibnu Sirin di pasar, mereka ingat kepada Allah, kemudian bertahlil serta bertakbir.
Perjalanan hidup beliau adalah panduan hidup yang sangat bagus bagi manusia. Setiap kali mendapatkan persoalan dalam dagangannya, beliau memilih yang lebih selamat bagi tinjauan agama walau terkadang beliau harus rugu secara materi untuk itu.
Beliau memiliki pemahaman yang detail tentang agama, wawasan yang tajam untuk membedakan mana yang halal dan mana yang tidak. Adakalanya sikap beliau  mengundang keheranan bagi sebahagian orang.
Pernah ada orang yang berdusta dengan mengatakan bahwa Ibnu Sirin berhutang dua dirham kepadanya. Beliau bersikeras tidak mau  membayarnya, lalu orang itu menantang, "Engkau berani bersumpah?" orang itu mengira beliau tak akan bersumpah untuk itu, namun tenryata beliau menyanggupi dan ia bersumpah. Orang-orang berkata, "Wahai Abu Bakri, mengapa engkau rela bersumpah hanya karena uang dua dirham saja, padahal tempo hari Anda abaikan harta sebesar 40.000 dirham karena engkau meragukannya sedangkan tidak ada orang yang meragukan kejujuranmu." Beliau menjawab, "Aku bersumpah karena tidak ingin jika dia makan harta yang haram, sedangkan aku tahu bahwa uang itu benar-benar haram baginya."
Majlis Ibnu Sirin adalah majlis kebaikan, kebaktian dan nasihat. Jika orang menyebutkan keburukan orang lain di depannya, beliau bersegera mengingatkan kebaikan orang itu sepanjang pengetahuannya.
Bahkan pernah beliau mendengar seseorang mamaki Hajjaj bin Yusuf setelah matinya, beliau mendekati orang itu dan berkata, "Tahanlah wahai putra saudaraku, Hajjaj sudah kembali ke sisi Rabb-nya. Saat engkau datang kepada Rabb-mu, akan kau dapati bahwa bahwa dosa terkecil yang kau lakukan di dunia lebih kau sesali daripada dosa yang dilakukan Hajjaj. Masing-masing dari kalian akan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri."
Ketahuilah wahai putra saudaraku, Allah akan menuntut Hajjaj atas kezhalimannya terhadap orang-orang, namun Allah juga akan menuntut orang-orang yang menzhalimi Hajjaj. Maka janganlah engkau sibukkan dirimu untuk memaki dan mencela orang sesudah ini."
Sudah menjadi kebiasaan jika ada orang yang berpamitan kepada beliau untuk pergi berdagang belia berpesan, "Wahai putra saudaraku, bertakwalah kepada Allah dan carilah apa yang ditakdirkan untukmu dari jalan yang halal. Ketahuilah, kalaupun engkau mencari jalan yang tidak halal, toh engkau tidak akan memperoleh kecuali apa yang tidak ditakdirkan untukmu."
Kalimat yang benar senantiasa ditegakkan Muhammad bin Sirin di hadapan para penguasa Bani Umayah. Beliau secara tulus mewujudkan nasihat bagi Allah, Rasul dan imam-imam kaum muslimin.
Sebagai bukti dari kesimpulan di atas adalah, ketika Umar bin Hubairah Al-Farazi yang diangkat menjadi gubernur Irak, pernah meminta Ibnu Sirin menemuinya, lalu beliau datang bersama saudaranya. Sang wali menyambutnya dengan penuh hormat kemudian bertanya banyak tentang agama dan dunia. Dia berkata, "Dalam kondisi seperti apa Anda akan tinggalkan kota Bashrah, wahai Abu Bakri?" beliau berkata, "Akan aku tinggalkan kota dimana kezhaliman telah merajalela sedangkan Anda tidak menghiraukannya." Saudaranya mencubit kaki Ibnu Sirin demi mendengar jawaban seperti itu, tapi beliau menoleh kepadanya, "Bukan engkau yang ditanya, melainkan aku. Ini adalah kesaksian, 'Dan barangsiapa yang menyembunyikannya maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.' (Al-Baqarah: 253)."
Usai pertemuannya, beliau dilepas kepergiannya seperti sambutan ketika datangnya, dengan penuh santun dan rasa hormat. Lalu dihadiahkanlah sekantong uang berisi 3000 dirham dari kas negara, tapi sama sekali tak disentuhnya. Bertanyalah anak saudaranya, "Apa yang menghalangimu untuk menerima hadiah dari amir itu?" Beliau berkata, "Dia memberi karena mengira aku orang baik. Bila benar aku orang baik, tidak pantas aku mengambil uang itu. Namun jika aku tidak seperti yang dia duga, tentu lebih layak lagi untuk tidak mengambilnya."
Allah berkehendak menguji ketulusan dan kesabaran Muhammad bin Sirin berupa cobaan seperti yang telah menimpa orang-orang mukmin lain.
Satu contoh dari ujian tersebut adalah peristiwa dimana beliau membeli minyak seharga 40.000 dirham sebanya satu bejana penuh dibayar belakangan. Ketika diperiksa ternyata ada bangkai tikus yang sudah membusuh di dalamnya. Dia pikir, "Minyak ini ditampung dalam satu wadah dan najisnya tidak hanya di sekitar bangkai itu. Jika aku kembalikan kepada penjualnya, pasti akan dijual kepada orang lain." Maka dibuangnya semua minyak di bejana tersebut. Ini terjadi di saat perniagaannya rugi cukup besar. Akhirnya beliau terbelit hutang, pemilik minyak menagih hutangnya sedangkan beliau tak mampu membayarnya, lalu orang itu mengadukan  persoalan tesebut kepada  yang berwenang. Akhirnya diperintahkan beliau dipenjara sampai bisa mengembalikan hutangnya.
Cukup lama beliau dipenjara, hingga penjaga merasa kasihan karena mengetahui keteguhan agama dan ketakwaannya dalam ibadah. Dia berkata, "Wahai Syaikh, pulanglah kepada keluarga bila malam tiba dan kembalilah kemari pada pagi harinya. Anda bisa melakukan itu sampai Anda bebas nanti.' Beliau menolak, "Tidak, demi Allah aku tidak akan melakukan itu." Penjaga berkata, "Mengapa?" Beliau menjawab, "Agar aku tidak membantumu mengkhianati pemerintah."
Ketika Anas bin Malik sakit keras, beliau berwasiat agar yang memandikan jenazahnya kelak Muhammad bin Sirin, sekaligus menshalatkannya. Tapi Ibnu sirin masih berada dalam tahanan.
Hari dimana Anas wafat, orang-orang mendatangi wali dan menceritakan tentang wasiat sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. dan memohonkan izin untuk Muhammad bin Sirin agar bisa melaksanakan wasiatnya. Namun beliau berkata, "Aku tidak akan keluar kecuali jika kalian mengijinkan aku kepada orang yang aku hutangi, bukankah aku ditahan karena belum mampu membayar hutangnya?"
Orang yang dihutangi pun memberikan izin sehingga ia bisa keluar dari tahanannya. Setelah selesai memandikan, mengkafani dan menshalatkan jenazah Anas radhiyallahu 'anhu, beliau langsung kembali lagi ke penjara tanpa sedikitpun mengambil kesempatan  untuk mampir menengok keluarganya.
Usia Muhammad bin Sirin mencapai 77 tahun. Dalam wafatnya didapati bahwa beliau ringan dari beban dunia dan penuh pembekalan untuk hidup setelah mati. Hafshah binti Rasyid yang dikenal sebagai ahli ibadah bercerita, "Marwan Al-Mahmali adalah tetangga kami yang rajin beribadah dan tekun melaksanakan ketaatan-ketaatan. Tatkala beliau meninggal kami bersedih, lalu aku melihatnya di dalam mimpi dan aku bertanya kepadanya, "Wahai Abu Abdillah, apa yang dilakukan Rabb-mu di terhadapmu?" Dia menjawab, "Allah memasukkan aku ke dalam surga." Aku katakan, "Kemudian apa?" Dia menjawab, "Kemudian aku diangkat ke derajat ashhabul yamin." Aku bertanya, "Lalu apa lagi?" Dia menjawab, "Lalu aku diangkat ke derajat muqarrabin." Aku bertanya, "Siapa yang kamu lihat di sana?" Ia menjawab, "Aku melihat Al-Hasan Al-Bashri dan Muhammad bin Sirin."

Kisah Tabi'in ini sumber referansinya dari: Buku "Mereka Adalah Para Tabi'in", Dr. Abdurrahman Ra'fat Basya, Pustaka At-Tibyan yang di posting di situs www.KisahIslam.net